Selasa, 26 Agustus 2014

Walah, Kapal Nelayan Asing sering Curi Ikan di Perairan Aceh

Facebook1Twitter5LinkedIn0Google+0Email
Kapal Trawl asal Thailand yang sedang memasuki perairan Aceh. Foto diambil 15 Maret 2014 dari kapal Basarnas Provinsi Aceh, saat pencarian pesawat MH370 milik Malaysia Airlines. Foto: Junaidi Hanafiah.
Kapal Trawl asal Thailand yang sedang memasuki perairan Aceh. Foto diambil 15 Maret 2014 dari kapal Basarnas Provinsi Aceh, saat pencarian pesawat MH370 milik Malaysia Airlines. Foto: Junaidi Hanafiah.
Kapal nelayan asing yang menggunakan pukat harimau atau trawl sering masuk ke perairan Aceh. Kapal tersebut tidak hanya mencuri ikan, namun juga merusak terumbu karang yang sangat dijaga nelayan lokal.
“Kapal berbendera Thailand yang sering terlihat. Namun begitu, ada juga kapal trawldari Belawan dan Sibolga, Sumatera Utara,” sebut Munawar, nelayan asal Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/8/14).
Munawar menyebutkan, mereka menggunakan papan besar dilapisi besi untuk mengeruk pasir di bawah laut. Besi itu yang merusak terumbu karang. “Benih-benih ikan juga terangkut dalam pukat harimau ini sehingga jumlah ikan berkurang,” ujarnya.
Untuk mengelabui petugas keamanan laut Indonesia, kapal Thailand tersebut beroperasi malam hari. Jalurnya, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Siang harinya, kapal itu keluar dari perairan timur Aceh.
“Kami nelayan lokal, dilarang oleh pimpinan adat atau Panglima Laot untuk merusak terumbu karang. Kami juga dilarang menangkap ikan menggunakan pukat harimau. Tapi, di saat kami menjaga kelestarian ekosistem laut, kapal asing datang  merusaknya,” ungkap Munawar.
Selain di pantai timur Aceh, pencurian ikan dengan menggunakan pukat harimau sering terjadi juga di pantai barat dan selatan Aceh yaitu di Kabupaten Singkil, Simeulu, Aceh Selatan, dan Nagan Raya. Namun, pelakunya berasal dari Sibolga, Sumatera Utara.
Mereka tidak hanya mencuri ikan, tapi ada juga yang menggunakan bom. “Anehnya, mereka masih bisa operasi, padahal dilarang,” ungkap Dedi, nelayan dari Singkil Utara.
Sebelumnya, pada 9 April 2014, lima kapal trawl asal Thailand ditangkap oleh Kapal Angkatan Laut (KAL) Bireuen TNI AL. Kapal nelayan tersebut ditangkap di Selat Malaka, tepatnya di perairan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Sebanyak 11 anak buah kapal (ABK) berwarga Thailand dan 45 warga Myanmar berhasil diamankan.
Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Lhokseumawe, Letkol Laut (P) Sumartono  -yang saat itu menjabat sebelum digantikan Kolonel Marinir Agus Dwi Laksana- mengatakan, lima kapal asal Thailand tersebut ditangkap mencuri ikan di 11 mil dari garis pantai Idi Rayeuk pada Rabu malam. Lima kapal tersebut juga memakai bendera Indonesia dan nama kapal juga ditulis dengan bahasa Indonesia.
Sumartono menyebutkan, kelima kapal yang ditangkap itu adalah Bintang Laut IX, Kakap IV, Ikan IX, Bintang Laut VII, dan Kakap II yang panjangnya sekitar 20 meter dengan kekuatan mesin 30 hingga 40 GT.
Menurut Sumartono, saat diperiksa, tidak satu pun dari lima ABK tersebut bisa berbahasa Indonesia. Setelah dokumen digeledah, baru diketahui mereka nelayan asing. “Mengetahui hal tersebut, kami menggiring mereka ke Pelabuhan PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara,” ucap Sumartono.
Selang lima hari atau pada 14 April 2014, empat kapal trawl asal Thailand kembali ditangkap karena mencuri ikan di perairan Kabupaten Aceh Barat. Selain menangkap kapal, 60 ABK berhasil diamankan.
Kapolres Aceh Barat, AKBP Faisal Rivai menyebutkan, penangkapan empat kapal itu dilakukan di perairan Aceh Barat yang jaraknya sekitar 12 mil dari pantai.
“Penangkapan dilakukan oleh tim gabungan polisi dan TNI. Keempat kapal tersebut digiring ke Meulaboh, Aceh Barat. Mereka di ditahan di kantor Kesatuan Pengamanan Perairan dan Pantai (KPPP) Aceh Barat,” sebut Faisal.

Fokus Liputan : Risiko Bencana PT Semen Indonesia Mengancam Warga dan Alam di Rembang (Bagian 2 Dari 2 Tulisan)

Facebook80Twitter25LinkedIn1Google+1Email
Truk pabrik semen keluar masuk melewati tenda-tenda warga. Foto : Tommy Apriando.
Truk pabrik semen keluar masuk melewati tenda-tenda warga. Foto : Tommy Apriando.
Dua bulan lebih Ibu-ibu dari Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan menduduki tapak pabrik Semen Indonesia di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Tidur di tenda-tenda beratap terpal plastik dan kain. Beralas terpal dan berbekal selimut. Panas di siang hari, hujan dan dinginnya angin di malam hari tidak mengendurkan semangat dan perjuangan mereka untuk terus menuntut dibatalkannya pertambangan batu gamping dan pendirian pabrik PT Semen Indonesia.
Supristianto (32) warga Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, setiap hari selalu datang ke tenda warga tersebut. yang menolak tambang semen.
Supris panggilan akrabnya, berdiskusi dengan teman-temannya sejak kabar pabrik semen akan dibangun di dekat desanya pada akhir tahun 2011. Setelah ada kepastian berdirinya PT Semen Gresik (yang sekarang bernama PT Semen Indonesia), ia mulai mencari tahu apa keuntungan dan kerugian dari hadirnya pabrik semen itu.
“Hadirnya pabrik semen tidak ada keuntungannya bagi kami. Kami lebih sejahtera menjadi petani. Bagaimana bisa petani menjadi pekerja di perusahaan. Jikapun bisa, paling hanya buruh kasar,” kata Supris.
Sedangkan Aan Hidayah melihat perjuangan ibu-ibu dan warga merupakan bentuk konkrit perlawanan dan upaya penyelamatan lingkungan, khususnya sumber mata air.
Sejak peristiwa bentrok antara warga yang menolak pendirian pabrik semen dengan aparat kepolisian dan TNI di tapak pabrik 16 Juni 2014 lalu, Aan masih terus mendampingi warga. Tidur di tenda, terkadang di rumah warga. Terkadang pulang kampung, di Pati, Jawa Tengah, lalu kembali lagi ke tenda.
“Ini bentuk solidaritas. Di Pati juga terancam akan pertambangan semen. Tuntutan warga hanya satu, batalkan pendirian pabrik semen dan pertambangan,” katanya.
Merayakan Agustusan
17 Agustus 2014 malam, sekitar 300 orang, baik anak-anak, pemuda-pemudi, muda dan tua berbaur jadi satu untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI di tenda perjuangan. Mereka duduk di jalan masuk areal pabrik, beralas terpal plastik untuk berdoa, berteatrikal, berpuisi, dan menyanyi.
Sukinah (berkebaya orange) memekikan semangat kemerdekaan dan menolak pabrik Semen. Foto :Tommy Apriando.
Sukinah (berkebaya orange) memekikan semangat kemerdekaan dan menolak pabrik Semen. Foto :Tommy Apriando.
Sukinah, warga Tegaldowo, malam itu mengenakan kebaya warna kuning dan kain panjang. Rambutnya dibuat sanggul dan ditusukkan “cundhuk” merah putih. Ia baru saja pulang dari kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta Pusat. Mereka berhasil mendapat dukungan dari PBNU.
Di kantor PBNU, dalam penyataan bersama Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan PBNU menyatakan bahwa PBNU mendukung sepenuhnya aksi warga Rembang menuntut penghentian pendirian pabrik semen, atas pertimbangan besarnya daya rusak ekologis di masa depan.
Selain itu, PBNU juga menyerukan kepada pemerintah propinsi Jawa Tengah dan pemerintah Kabupaten Rembang untuk menghentikan semua kegiatan PT. Semen Indonesia di Rembang dan operasi perusahaan-perusahaan tambang lainnya di wilayah Kabupaten Rembang untuk kemudian dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh.
“Sangat mengapresiasi perjuangan ibu-ibu. Pemerintah harusnya malu, ibu-ibu sampai turun aksi,” kata M Imam Aziz dari PBNU.
Surat Izin Gubernur dan Bupati
PT Semen Gresik (persero) mendapat surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo nomor 550.1/10/2012 tertanggal 30 April 2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen.
Surat rekomendasi Gubernur Jateng untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando
Surat rekomendasi Gubernur Jateng untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando
Dalam surat tersebut Bibit Waluyo memutuskan dan menetapkan bahwa rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen PT Semen Gresik di Kabupaten Rembang layak ditinjau dari aspek lingkungan hidup.
Surat rekomendasi gubernur itu berdasar Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) yang dipergunakan sebagai acuan/pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pada kegiatan penambangan dan pembanguan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
Sebelumnya, PT Semen Gresik (sekarang Semen Indonesia) mengirim surat permohonan bernomor 11012969.2/HK.05/9410/10.2011 tertanggal 4 Oktober 2011, kepada Bupati Rembang. Isinya terkait permohonan izin pembangunan pabrik semen beserta lahan tambang bahan baku  dan sarana pendukung lainnya di Kabupaten Rembang.
Bupati Rembang saat itu yakni H Moch Salim membalas dengan surat bernomor 510.43/2865/2011 tertanggal 21 Oktober 2011tentang persetujuan prinsip pembangunan pabrik semen berikut lahan tambang bahan baku dan pendukung lainnya. Surat izin Bupati Rembang tersebut dikeluarkan setelah memperhatikan surat rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) nomor 050/2857/2011 yang diberikan ke Bupati Rembang tanggal 20 Oktober 2011.
Surat rekomendasi Bupati Rembang untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando
Surat rekomendasi Bupati Rembang untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando
Izin tersebut ditujukan kepada Ir. Suharto, MM yang menjabat Direktur Litbang dan Operasional PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sedangkan peruntukannya yakni pembangunan pabrik Semen Baru berikut lahan tambang bahan baku prasarana pendukung lainnya di Kecamatan Gunem dan Kecamatan Bulu dengan luas lahan 900 hektar.
“Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031, kawasan tersebut adalah kawasan pertambangan,” seperti tertulis dalam surat izin.
Seperti yang tertera pada dokumen AMDAL PT Semen Gresik (Semen Indonesia) lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi di Desa Tegaldwo, Kecamatan Gunem akan peruntukkan lahan penambangan batu gamping seluas 520 hektar.
Di Desa Kajar dan Pasucen, Kecamatan Gunem akan diperuntukan penambangan tanah liat seluas 240 hektar. Desa Kajar dan Pasucen seluas 105 hektar diperuntukan pabrik dan utilitas. Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu diperuntukan lokasi jalan produksi seluas 15 hektar dan Desa Tegaldowo, Kajar dan Timbrangan, Kecamatan Gunem diperuntukan jalan tambang seluas 10 hektar.
Ming Lukiarti dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang menanggapi izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Jateng dan Bupati Rembang merupakan hal yang bertentangan dengan Perda Kabupaten Rembang No.14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang tahun 2011-2031.
Dokumen AMDAL perusahaan juga banyak tidak sesuai dengan situasi fakta di lapangan, mulai dari kontradiksi lokasi pertambangan di kawasan konservasi / lindung yakni di CAT Watu Putih dan kawasan Karst yang seharusnya tidak boleh ditambang.
“Aneh jika dalam RTRW Kab Rembang sendiri menyebutkan kawasan CAT (cekungan air tanah) Watuputih di Kecamatan Gunem sebagai kawasan lindung geologi. Namun diperbolehkan untuk pertambangan,” katanya.
Dalam dokumen RTRW Kab Rembang pasal 15 ayat 1 dan 2 disebutkan Kecamatan Lasem, Bulu, Sale, Sluke, Kragan, Sedan, Pancur dan Gumen merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya yakni berupa kawasan resapan air seluas 11.314 hektar.
“Pasal 19 pada RTRW Rembang jelas tertuliskan bahwa kawasan lindung geologi berupa kawasan imbuhan air meliputi Cekungan Watuputih dan Cekungan Lasem,” kata Ming.
Dalam dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang diterima Mongabay, pada pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa rencana kawasan pengembangan kawasan lindung seluas kurang lebih 29.212 hektar yang meliputi, mempertahankan kawasan hutan lindung, mempertahankan fungsi kawasan lindung non hutan, merehabilitasi kawasan lindung berupa penanaman mangrove di kawasan pesisir dan mengembangkan ekowisata.
Adapun dalam pasal 13 ayat (2) huruf (f) menyebutkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kawasan lindung geologi.
“Tidak disebutkan bahwa rencana kawasan pengembangan kawasan lindung untuk dilakukan penambangan. Dan sudah jelas bahwa kawasan CAT Watuputih itu kawasan lindung geologi,” kata Ming.
Tak pernah tahu wujud AMDAL
Joko Prianto, warga Desa Tegaldowo mulai ikut aksi menolak pembangunan pabrik semen pada pertengahan April 2012 lalu, setelah mendapatkan informasi tentang dampak negatif terhadap adanya pabrik semen. Mulai dari hilangnya sumber mata air, gua, krisis air, polusi udara, bahkan hilangnya pekerjaan warga sebagai petani dan peternak.
“Jika kami kehilangan sumber mata air, bagaimana dengan lahan pertanian kami, ternak kami, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari kami,” ujar Joko Prianto yang akrab dipanggil Prin.
Ia bercerita berbagai upaya warga menolak pendirian pabrik semen, seperti berkirim surat ke Pemkab Rembang dan Gubernur Jateng. Namun tidak ada respon. Warga juga tidak tahu tentang penyusunan dokumen AMDAL.
“Kami tidak pernah diberi tahu bahwa ada penyusunan AMDAL. Kami tidak pernah diundang. Kami tidak dilibatkan. Yang diundang hanya warga yang mendukung pembangunan pabrik semen,” kata Prin.
Dia merasa seharusnya warga yang mendukugn maupun menolak dilibatkan dalam penyusunan AMDAL. Baik mendukung maupun menolak, pendapat mereka harus didengarkan dan dijadikan pertimbangan.
“Lah kok Pak Ganjar (Gubernur Jateng Ganjar Pranowo) tanya ke kami, apakah sudah membaca dokumen AMDAL? Dilibatkan saja tidak, diberi tahu saja tidak. Kok kami di tanya dan di minta membaca AMDAL,” ujar Prin.
Selain Prin, Supris juga pernah mencoba datang pada sosialisasi pembangunan pabrik semen yang diselenggarakan oleh pemerintah desa Tegaldowo dan pihak pabrik semen. Ia tidak diundang dalam pertemuan itu. Ia ingin tahu dan menyampaikan beberapa pertanyaan. Namun, ia merasa pertemuan sudah di-setting sehingga tidak diberikan kesempatan bertanya. Menurutnya, hanya pihak warga pro pembangunan pabrik semen saja yang diberikan kesempatan.
Muhnur Satyahaprabu dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional mengatakan, partisipasi warga dalam penyusunan AMDAL adalah syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan. Jika warga tidak pernah sama sekali dilibatkan berarti syarat mutlak itu diabaikan.
“Selain tidak pertisipatif, dokumen AMDAL juga tidak mempertimbangan lahan pertanian yang merupakan bagian dari investasi besar para warga. Peralihan petani menjadi buruh itu tidak bisa dihitung dengan apapun,” kata Muhnur.
Sumber Air CAT Watuputih
Dalam presentasi Eko Teguh Paripurno, pengajar Teknik Geologi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta di Semarang pada 7 Juli 2014 lalu menyampaikan ada 49 Goa, 4 sungai bawah tanah, 109 mata air di sekitar CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim.
Adapun zona jenuh air berada di sekitar sumber semen dan brubulan, yang berada di ketinggian 150 mdpl (meter di atas permukaan laut) dan zona  peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Sebaran mata air  berada pada zona  ketinggian 100-350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan pegunungan Watuputih.
Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.
Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.
CAT Watuputih yang merupakan area imbuhan air sebesar 2.555,096 Ha. Untuk mata air terbesar Sumber Seribu dengan debit 600 liter/detik di Desa Tahunan di bagian timur CAT Watuputih dan terkecil mata air Belikwatu debitnya 0,02 liter/detik.
Di Desa Timbrangan dibagian barat CAT Watuputih denit terkecil menghasilkan 1728 liter/hari dan debit terbesar menghasilkan 51.840.000 liter/hari.”
Data PDAM tahun 2013, sumber semen merupakan sumber utama untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat 607.188 jiwa di 14 kecamatan, Kabupaten Rembang.
Eko Teguh mengatakan CAT Watuputih merupakan bukit batu gamping yang menjadi resevoir air tanah. Proses kartifikasi sedang terjadi, sehingga banyak dijumpai mata air di kaki bukit gamping itu dan terdapat gua serta sungai bawah tanah di di dalam bukit itu.
“Saya merasa kawasan CAT Watuputih sangat berisiko bila di tambang. Penambangan akan menghabiskan zona kering tubuh batu gamping tersebut, mendekati ke zona peralihan dan zona basah. Penghilangan zona kering menjadikan volume air yang meresap akan berkurang dan tentu bisa berdampak pada krisis air,” kata Eko Teguh kepada Mongabay.
Selain itu, dia juga menduga dokumen AMDAL proyek pembangunan pabrik semen ada yang disembunyikan. Terutama terkait kejujuran data. Salah satunya di dokumen AMDAL menyebutkan goa-goa tidak berair pada kedalam 100 meter, sehingga air sulit dijangkau.
“Goa basah dianggap kering. Goa berair dikatakan dalam, padahal dangkal. Itu perkara kejujuran data,” katanya.
“Di Desa Tegaldowo mayoritas warga mengebor air di kedalaman 10-15 meter. Di Desa Tegaldowo masih ada yang mengebor, namun banyak juga yang menggunakan sumur,” kata Joko Prianto.
Surat Kepala Badan Geologi untuk Gubernur Jateng
Kepala Badan Geologi, Dr. Surono mengirimkan surat nomor 3131/05/BGL/2014 tertanggal 1 Juli 2014 kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, tentang tanggapan rencana penambangan Batugamping di Wilayah Kabupaten Rembang .
Isi surat tersebut memaparkan bahwa berdasarkan tugas pokok dan fungsi Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menanggapi permasalahan dan keresahan yang timbul di masyarakat terkait dengan rencana penambangan Batugamping untuk bahan baku pabrik semen.
Surat Kepala Badan Geologi yang merekemondasikan pelarangan penambanan di CAT Watuputih. Foto : Tommy Apriando
Surat Kepala Badan Geologi yang merekemondasikan pelarangan penambanan di CAT Watuputih. Foto : Tommy Apriando
Bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia, menyatakan bahwa Batugamping tersebut ditetapkan sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.
Pada butir kedua, berdasarkan pasal 40 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah mengamanatkan untuk menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah yang dilakukan dengan cara mempertahankan imbuhan air tanah dan melarang melakukan kegiatan pengeboran, penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air.
Sedangkan Pasal 40 ayat 2 mengamanatkan untuk menjaga daya dukung akuifer dilakukan dengan mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer. Adapun penjelasan kegiatan yang mengganggu yakni antara lain pembuatan terowongan atau penambangan batuan.
Dan dalam butir terakhir dipaparkan bahwa untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih maka agar tidak ada kegiatan penambangan di Batugamping tersebut.
“Kawasan CAT Watuputih sebagian besar merupakan daerah imbuhan air tanah dan secara aturan juga dilindungi,” kata Dr. Surono yang dikutip dari media massa pada 7 Juli 2014.
Sedangkan PBNU bahkan menilai bahwa dalam banyak kasus korporasi mengklaim diri telah berkonsultasi dengan rakyat setempat melalui penyusunan dokumen usaha seperti AMDAL.
Namun kenyataannya bentuk partisipasi warga yang dimaksud adalah mobilisasi sekelompok orang demi memenuhi tertib prosedural AMDAL, tanpa menyentuh substansi masalah orientasi pembangunan yang melibatkan rakyat. Sistem ekonomi kapitalisme memang membuka keran partisipasi, tapi faktanya itu tak lebih untuk kelanggengan ekspansi kapital itu sendiri. Partisipasi hanya pelengkap, bukan inti dari bagaimana sebuah arah pembangunan/kebijakan yang berhubungan dengan orang banyak diputuskan.
“Kami Mendorong pemerintahan nasional untuk menginisiasi pengadilan lingkungan dengan salah satu tugas utamanya melakukan eksaminasi terhadap dokumen AMDAL.”
“Hal ini untuk mengantisipasi pendangkalan makna partisipasi dalam penyusunan dokumen AMDAL, dimana selama ini partisipasi dirasa telah berubah menjadi mobilisasi, prosedural, dan meminggirkan kualitas dan substansi partisipasi itu sendiri,” kata M Imam Aziz.
AMDAL Untuk Pembangunan Berkelanjutan
Narasumber dalam penyusunan AMDAL pabrik Semen, ahli konservasi lingkungan dari Univesitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. H. Chafid Fandeli kepada Mongabay mengatakan, salah satu tujuan dari adanya AMDAL yakni agar pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan sendiri punya empat kriteria, yakni lingkungan yang bersahabat, perberdayaan masyarakat lokal, ekonomi masyarakat lokal yang harus terus berkembang dan budaya lokal yang tidak boleh dimarjinalkan, namun harus diperkuat.
“Di Indonesia sejak tahun 1990-an berusaha untuk membawa kegiatan pembangunan termasuk AMDAL itu tidak hanya mempertimbangkan environtmental friendly saja. Tapi juga ada persoalan budaya lokal, ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat,” kata Prof Chafid.
Dalam penyusunannya, AMDAL mengatur pelibatan masyarakat dengan sosialisasi dan publik konsultasi. Syarat konsultasi publik yaitu adanya tokoh formal dan informal, serta LSM.
Warga mulai dari RT, RW dan dusun, terutama warga dimana proyek berada, harus dilibatkan, sehingga mengetahui apa dan bagaimana dampak proyek tersebut. “Baik yang mendukung dan menolak harus ikut dan harus ada dalam penyusunan AMDAL,” katanya.
Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.
Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.
Warga yang menolak pembangunan pabrik semen bisa mengikuti proses AMDAL, antara lain dengan melihat pengumuman di media massa, saat sosialisasi dan publik konsultasi. Saat penilaian AMDAL oleh tim gubernur, warga juga bisa terlibat untuk menolak.  Dengan proses tersebut,  dia melihat keterlibatan warga tidak boleh terlewat.
“Konsep dalam penyelesaian konflik warga yang menolak dan setuju pembangunan itu adalah win-win solution, bukan menang atau kalah,” ujar Prof. Chafid.
Mengenai AMDAL PT Semen Indonesia yang melanggar RTRW Kabupaten Rembang, ia berpendapat jika AMDAL berjalan terus sampai final berarti tidak bertentang dengan Tata ruang.
“Jika bertentangan maka tidak boleh dilanjutkan. Tata ruang itu menjadi penentu, tidak boleh dilanjutkan jika AMDAL itu bertentang dengan aturan tata ruang,” katanya.
Mengenai Surat Kepala Badan Geologi, Prof. Chafid berpendapat persoalan Cekungan Air tanah (CAT) bukan permasalahan tata ruang.  “Pak Surono akhirnya sekarang juga diam. Karena sebenarnya di Indonesia ini ada ribuan CAT dan yang masih aktif ada berkisar 450 CAT, yang sebagian besar di wilayah CAT itu di atasnya adalah pertambangan,” katanya.
“Jadi jika ada konsep bahwa yang ada di atas CAT tidak boleh ada pemanfaatan sumber daya alam. Maka Keppres ini akan menghapus semua izin eksplorasi dan eksploitasi  pertambangan yang jumlahnya ribuan di Indonesia,” lanjutnya.
Prof. Chafid melihat kawasan CAT bisa ditambang pada daerah yang tidak membahayakan, bila air berada pada kedalaman 100 meter atau lebih, yang bisa dideteksi melalui pengeboran.
Dia melihat AMDAL PT Semen Indonesia di Rembang sudah memenuhi kaidah ilmiah, regulatif dan teknis sudah terpenuhi.  “Saya selaku yang mengawal penyusunan AMDAL PT Semen Indonesia. Sepengetahuan dan sepengalaman saya mengikuti prosesnya, saya menilai AMDAL sudah baik,” ujar Prof Chafid.
Sedangkan Sekretaris Perusahaan PT Semen IndonesiaAgung Wiharto kepadaMongabay mengatakan pada pertemuan bersama Gubernur Jateng pada 7 Juli 2014sudah sudah jelas tentang AMDAL.  Gubernur sudah ada inisiatif agar semua pihak bisa melihat dan mendengar terkait penjelasan dari pihak perusahaan, akademisi dan warga yang menolak hadirnya pabik semen dan instansi lainnya.
“Kesimpulan pertemuan kemarin jika semua CAT tidak boleh ditambang, berarti semua perusahaan tambang di kawasan yang saat ini sudah beroperasi harus diberhentikan. CAT boleh ditambang asalkan bisa dikendalikan,” kata Agung.
Dia membantah pihaknya tidak melibatkan warga dalam dalam penyusunan AMDAL. Penyusunan AMDAL telah melalui 35 ijindan dan 12 persyaratan, termasuk syarat melibatkan masyarakat.
“Sosialisasi sudah kami lakukan ke masyarakat. Kami juga melibatkan mereka. Memang tidak semua atau tidak 100 persen terlibat. Kami mengundang mereka semua. Namun, ketika sosialisasi dilaksanakan ada beberapa warga yang tidak hadir karena berhalangan. Ada yang bertani atau kegiatan lainnya sehingga tidak hadir ketika sosialisasi dan konsultasi dilakukan,” katanya. Agung mengjak semua pihak untuk membangun Rembang demi kemanfaatan bersama.
Pertambangan Ramah Lingkungan di Industri Semen.
Agung Wiharto menjelaskan PT Semen Indonesia yang pembangunan pabrik dan pertambangannya di Rembang diresmikan pada 16 Juni 2014, berkomitmen mewujudkan industri semen ramah lingkungan dengan desain tambang dan peralatan yang digunakan.
Di lokasi industri akan ada peralatan yang tercanggih, antara lain dush collector atau penangkap debu yang di desain menangkap debu 30 mili/meter kubik.
Untuk mengendalikan emisi, setiap pabrik telah dilengkapi alat khusus pengendali debu seperti electrostatic precipitator (EP), cyclone, conditioning tower, bag house fileter dan peralatan lainnya. Selain itu pada setiap titik transport proses produksi dipasang peralatan penangkap debu yang kemudian diproses kembali sebagai material produksi.
Agung menjelaskan meski investasinya mahal, mereka telah berkomitmen untuk berkonsep industri hijau, dengan meningkatkan konsumsi energi alternatif dari limbah pertanian, menekan konsumsi air dan listrik, kontrol emisi yang ketat, dan tetap melestarikan keanekaragaman hayati.
“Kami akan membuat ruang terbuka hijau di 30 persen areal pabrik. Kami berharap kawasan tanah akan semakin baik dan terjaga,” kata Agung.
Seperti dalam siaran pers dari pihak perusahaan tanggal 5 Mei 2014 lalu, investasi untuk membangun pabrik di Rembang mencapai Rp 3,717 triliun atau setara US$
134,20 per ton semen. Angka itu berada dalam kisaran nilai investasi per ton untuk transaksi sejenis, yaitu antara US$116,17 sampai US$264,71 per ton.
Resiko Bencana dari Pertambangan.
Eko Teguh Paripurno menanggapi bahwa menambang ramah lingkungan bukan cuma persoalan caranya, akan tapi juga perlu dipertimbangan tempat/lokasi pertambangan, waktu, dan jumlah yang ditambang. “Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi. Ya tidak bisa dikatakan ramah lingkungan,” kata ET Paripurno.
Eko Teguh yang aktif di Pusat Studi Manajemen Bencana, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta menjelaskan penambangan mengurangi jumlah simpanan aliran diffuse dan meningkatkan aliran conduit. Bertambahnya persentase aliran conduit saat musim hujan akan mengakibatkan banjir  dan berkurangnya persentase aliran diffuse saat musim kemarau.
“Resiko bencana akibat pertambangan, seperti banjir. Mungkin tidak terjadi longsor. Namun abu akan menurunkan hasil panen  dan harga jual tembakau dan buah-buahan,” katanya.
Daerah hilir Kali Bengawan Solo berada pada CAT Watuputih dengan luasan 2122 hektar juga terdampak penambangan.  Penambangan seluas 491.5 hektar berkontribusi pada kerentanan Kali Mrayun, Kali Kowang, Kali Kening, dan akan bermuara di Kali Bengawan Solo di daerah Bojonegoro.
Daerah tangkapan Kali Lusi tapak pabrik dengan luas 349.91 hektar, selanjutnya berkontribusi pada kerentanan Kali Sadang, Kali Kedawung, Kali Ngampel, dan masuk ke Kali lusi yang akan mengalir melewati Grobogan, Purwodadi.  Selain itu, daerah tangkapan Kali Tuyuhan berada pada CAT Watuputih dengan luas 319 ketar, terdampak kegiatan penambangan seluas 69.01 hektar. Daerah tangkapan ini berkontribusi pada kerentanan Kali Sambung Dawong, Kali Grubugan, Kali Kroyo, dan Kali Tuyuhan yang bermuara di Laut Jawa di daerah Lasem.
“Kemampuan kita untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengambil tindakan dalam menangani risiko bencana, dapat merubah tingkat risiko pola pemanfaatan ruang yang baik merupakan modal awal untuk usaha-usaha pengurangan risiko bencana,” kata Paripurno.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng menyebutkan pada 35 kabupaten/kota Jaten, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Belum termasuk lahan pertanian yang hilang akibat bencana lingkungan seperti rob dan abrasi pantai dipekaloangan lahan pertanian beralih fungsi menjadi tambak sekitar seluas 1.800 hektar dan di Demak seluas 2000 hektar.
Sedangkan Muhnur Satyahaprabu mengatakan Jateng saat ini dalam kondisi darurat ekologi. Alih fungsi lahan di Jawa Tengah dalam sepuluh tahun terakhir tergolong tingg, yang mengancam petani terancam kehilangan pekerjaan dan terjadi kerusakan lingkungan.
Data Dinas Pertanian dam Tanaman Pangan Jawa Tengah disebutkan bahwa cepatnya alih fungsi lahan menjadi problem meluas bagi kelangsungan hasil produksi pangan di Jawa Tengah. 300 – 400 hektar/tahun, lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi wilayah industri, perkantoran, kawasan bisnis, perumahan dan lainya.
Pengamatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, setidaknya ada lahan lebih dari 2.240 hektar yang sudah di tambang (termasuk eksplorasi) dan ada ancaman 7.467 hektar lahan akan dijadikan lahan pertambangan. Selain itu belum ada kebijakan Pemprov Jateng mengenai standar pengelolaan lingkungan hidup menjadi masalah bagi kepala daerah dalam menyusun roadmap perlindungan lingkungan.
Menggugat Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia.
WALHI, LBH Semarang bersama warga yang menolak pembangunan pabrik semen akan mengugat Gubernur Jateng dan PT Semen Indonesia, dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada awal September 2014.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mempersilahkan warga menggugat, karena proses pembangunan pabrik  telah dimulai setelah semua syarat administrasi dan izin sudah selesai. “Jika warga keberatan maka silahkan melakukan gugatan ke PTUN saja,” kata Ganjar Pranowo, 19 Juni 2014 lalu.
Sedangkan PT Semen Indonesia mempersilahkan warga mengajukan gugatan. Mereka berjanji akan mematuhi putusan pengadilan. “Tapi jika pengadilan memutuskan kami yang menang. Kami harap warga yang menggugat bisa menghormati hasil keputusan pengadilan,” kata Agung.
Agung berharap hakim memahami persoalan lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan, jujur dalam membuat keputusan.
Sementara Muhnur melihat Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang tidak mempertimbangkan keberadaan warga setempat dengan penghidupan pertanian yang telah mapan dan menolak keberadaan pabrik semen.
Pada akhirnya, warga berharap perjuangan mereka selama ini membuahkan hasil. “Kami berdoa dan percaya keadilan akan berpihak pada perjuangan kami,” kata Prin.
“Mohon dukung dan doakan perjuangan kami untuk menyelamatkan kelestarian alam dari perusak lingkungan,” ujar Sukinah

BIG Siapkan Aplikasi Peta Partisipatif, Bisakah Menjawab Soal Wilayah Adat?

Kasmita Widodo, kepala BRWA sedang memperlihatkan salah satu peta wilayah adat di Kalimantan Barat, yang sudah dipetakan dan diserahkan ke BIG, tetapi belum bisa diintegrasikan dan menjadi peta tematik. Termasuk, kala BIG memperkenalkan aplikasi peta partisipatif, tak mampu menjawab persoalan wilayah adat. Foto: Sapariah Saturi
Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memperlihatkan salah satu peta wilayah adat di Kalimantan Barat, yang sudah dipetakan dan diserahkan ke BIG. Peta ini belum dapat diintegrasikan dan menjadi peta tematik dalam aplikasi peta partisipatif. Foto: Sapariah Saturi
Badan Informasi Geospasial (BIG) mengundang semua kalangan ikut andil dalam melengkapi peta dasar nasional lewat penyediaan aplikasi peta partisipatif. Jadi, setiap orang bisa menambahkan informasi pada peta dasar ini karena aplikasi dirancang ramah pengguna (user friendly).
BIG bekerja sama dengan Badan Pengelola REDD+ dengan harapan inisiatif ini bisa menjadi salah satu upaya melengkapi satu peta (one map). Bagi BP REDD+, soft launching pada Senin (25/8/14) merupakan suatu kemajuan yang baik dalam menyukseskan one map, dan meningkatkan transparansi lewat pelibatan partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ menyebutkan partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan REDD+ dengan infrastruktur one map.
Tak jauh beda dikatakan Tjokorda Nirarta Samadhi, Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Dia mengatakan, peta partisipatif ini langkah maju perpetaan Indonesia.
“Belum pernah masyarakat punya fitur resmi untuk perbaiki peta,” katanya.
Selama ini katanya, masyarakat mempunyai produk atau inisiatif yang ingin disebarkan tetapi belum memiliki fasilitas. Dengan, aplikasi ini masyarakat bisa memasukkan data dan ikut memperbaiki informasi dalam peta dasar.
Namun, dia mengingatkan, tak semua hasil pemetaan partisipatif bisa masuk ke peta formal yang dibuat dengan kriteria-kriteria tertentu. Namun, dia berharap, dengan peluncuran ini standard operating procedure (SOP) dan protokol yang dibuat BIG makin baik dan lengkap.
Menurut Samadhi, penyatuan peta memang bukan pekerjaan mudah, perlu proses panjang, tak hanya masalah teknis juga kesiapan birokrasi.
Dodi Sukmayadi, Deputi Informasi Geospasial Dasar BIG mengatakan,  informasi yang masuk dari partisipasi masyarakat akan diverifikasi BIG. Namun, jika sudah tematik, seperti wilayah adat, maka masing-masing sektor terkait yang memverifikasi.
Berbeda pandangan dengan Dodi, Samadhi menyebutkan khusus wilayah adat harus ada kekhususan. Menurutnya, jika menanti masing-masing sektor bergerak memverifikasi akan memakan waktu lama. Jembatan yang bisa dipakai di sini adalah dengan menggunakan peta tematik wilayah adat yang sudah dibuat harus menjadi rujukan termasuk bagi penataan ruang di daerah.
“Minta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan tata ruang untuk lihat ke sana (peta tematik wilayah adat). Jika ada yang bersinggungan harus konsultasi dulu.”

Wilayah adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemetaan wilayah penting untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan akibat ketidkajelasan batas wilayah. Foto: Christopel Paino

Masih jauh dari harapan
Kasmita Widodo, kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, aplikasi peta BIG ini belum menjawab keperluan dari masyarakat adat.
Mengapa? Antara lain, layer operasional (informasi) yang disediakan dalam aplikasi itu terbatas dan umum, seperti fasilitas jalan, gedung atau nama daerah. Sedang peta wilayah masyarakat adat itu tematik berisi informasi spesifik masing-masing wilayah adat.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selama ini telah melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat. Peta partisipatif wilayah adat seluas 1,2 juta hektar telah diserahkan ke BIG sejak 2012. Namun, hingga kini data itu ‘nganggur’ alias tak tampil dalam peta nasional karena belum ada wali data yang akan memverifikasi hasil pemetaan itu.
“Jadi, peta partisipatif masyarakat adat jika dimasukkan dalam aplikasi ini akan kehilangan makna. Paling yang masuk nama-nama tempat. Tak menjawab persoalan pemetaan wilayah adat.”
Padahal, katanya, yang paling mendasar bagi AMAN dan JKPP peta itu bisa menjadi klaim wilayah adat. Kasmita menyarankan,  ke depan, BIG harus membuat sistem aplikasi yang memuat peta partisipatif masyarakat adat sebagai peta tematik. “Bukan hanya komponen dari peta dasar BIG.”
Sampai sekarang, katanya, peta wilayah adat yang sudah diserahkan ke BIG belum bisa masuk sebagai peta tematik. Sebab, sampai saat ini belum ada yang menjadi wali data. Otomatis, peta wilayah adat belum ada yang memverifikasi.

Tampilan peta kita
Tampilan aplikasi partisipatif: petakita, dapat diakses pada http://petakita.ina-sdi.or.id/pempar/

Senada diungkapkan Kiki Taufik, dari Greenpeace. Dia mengapresiasi langkah BIG menyediakan aplikasi peta partisipatif bagi masyarakat tetapi belum bisa menjawab soal pemetaan wilayah adat.
Padahal, katanya, pemetaan partisipatif wilayah adat itu urgen tampil dan masuk dalam peta nasional serta menjadi rujukan masing-masing daerah. Sebab, dari hari ke hari lahan dan kehidupan warga adat terancam baik oleh perkebunan, HTI sampai tambang.

CHART: How Many Birds Are Killed By Wind, Solar, Oil, And Coal?

shutterstock_96798841
In response to growing accusations from both conservationists and conservatives that renewable energy sources like solar and wind kill too many birds, U.S. News and World Report has compiled data on which energy industries are responsible for the most bird deaths every year.
For each power source — wind, solar, oil and gas, nuclear, and coal — the data on bird deaths is gathered from different advocacy and industry groups, academic institutions, and government sources. Because estimates vary so widely on solar, wind, and oil, U.S. News included both low-range and high-range estimates for how many birds are killed by those electricity sources.
Either way, the results show that even with high-range estimates for renewables compared to low-range estimates for fossil fuels, fossil fuels are responsible for far more bird fatalities than solar or wind. Note the chart below:
A U.S. News and World Report chart shows estimates of how many birds are killed each year by different fuel sources.
A U.S. News and World Report chart shows estimates of how many birds are killed each year by different fuel sources.
CREDIT: U.S. NEWS & WORLD REPORT
The results should be taken with a grain of salt. As U.S. News noted, each study used a different methodology to come up with their numbers. “There’s no standardized way of doing it that everyone can agree to,” Garry George, the renewable energy director for Audubon California, told the magazine.
In addition, some of the research used is outdated, and does not take into account that renewable power stands to increase in the United States. For example, the study used to estimate bird deaths from United States wind power was from 2009, and wind power has increased substantially in the United States since then. According to the American Wind Energy Association, total installed wind capacity in the U.S. was approximately 35,000 megawatts — a number that has increased to about 61,000 for 2014. Those numbers stand to increase as well, as more than 12,000 megawatts of wind capacity were currently under construction at the end of 2013, according to AWEA.
The research also varies by source. Both the low and high estimates of wind power bird deaths came from a peer-reviewed study in the journal Biological Conservation, and was essentially a round-up of all available data peer-reviewed studies on the matter done by other scientists. For oil and gas, both the low and high estimates came from a Bureau of Land Management memo from 2012.
The low estimate for bird deaths from solar power comes from the solar company BrightSource, which was recently accused by the Center for Biological Diversity of operating a solar farm that kills as many as 28,000 birds a year. The high estimate comes from the Center for Biological Diversity, whose estimate is just from that one solar farm in California. Bird deaths from solar farms have been estimated to be relatively low, though — a U.S. Fish and Wildlife study earlier this year found only 233 bird deaths at three different solar farms in California over the course of two years.
As for coal, those bird death numbers came from a peer-reviewed study in the journalRenewable Energy. That estimate had a more sweeping methodology, though, with the study’s author including everything from coal mining to production — and bird deaths from climate change that coal emissions produce. Together, that amounted to about five birds per gigawatt-hour of energy produced by coal, almost 8 million per year.

Either way, U.S. News notes that none of these numbers hold a candle to cats, which are estimated to kill 1.4 to 3.7 billion birds every year.

Gambut Mahakam Tengah: Inisiatif Pertama Kabupaten di Indonesia untuk Konservasi Kawasan Gambut

Kanal di tengah hutan. Dalam ribuan hingga puluhan ribu tahun, serasah organik di atas pasir yang terbentuk di lantai hutan akan membentuk lapisan gambut. Foto: Ridzki R. Sigit
Tidak banyak yang tahu bila Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara memiliki potensi gambut. Berdasarkan data Wetlands International – Indonesia Programme luasannya sekitar 696.997 ha dengan kandungan karbon yang mencapai 1.211,91 juta ton.
Di Kalimantan Utara, gambut berada di Kabupaten Nunukan tepatnya di Sebuku dan Sembakung yang luasnya 212.897,06 hektar. Sementara, di Kalimantan Timur gambut tersebar di Kutai Kartanegara tepatnya di Mahakam Tengah (235.862 hektar) dan sebagian kecil Kutai Timur.
Gambut Mahakam Tengah ini merupakan kawasan yang unik di Indonesia. Pasalnya, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, melalui Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 590/526/001/A.Ptn/2013 telah menunjuknya sebagai Kawasan Konservasi, pada Oktober 2013.
Penunjukan kawasan ini juga sebagai komitmen Pemerintah Kutai Kartanegara terhadap perubahan iklim. Yaitu, dengan menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan lahan gambut.
SK Bupati ini menegaskan pula tentang penundaan pemberian izin baru pada kawasan gambut Mahakam Tengah. Sekaligus, dilakukannya pemantauan dan pengendalian lahan gambut, serta upaya pengembalian ekosistem dan keanekaragaman hayatinya.
Direktur Yayasan Biosfer Manusia (BIOMA) Akhmad Wijaya mengatakan, gambut Mahakam Tengah  merupakan wilayah pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan perlindungan.
Menurut Akhmad, kebakaran besar pada 1982 dan 1998 telah merubah sistem ekologi di hamparan gambut tersebut. Kondisi ini menyebabkan hilangnya biomasa sehingga akumulasi serasah tidak terjadi lagi. Dampak lainnya adalah terganggunya sistem hidrologi di hulu dan terjadinya genangan yang menggangu proses suksesi di lahan gambut ini.
Direktorat Jenderal Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan pernah mengusulkan daerah ini sebagai taman nasional awal 1980. Namun, akhirnya hanya sedikit kawasan di sepanjang Muara Ancalong dan Muara Kaman yang ditetapkan sebagai area konservasi dengan nama Cagar Alam Sedulang-Muara Kaman.
Ragam hayati
Gambut Mahakam Tengah melingkupi 5 kecamatan dan 30 desa dengan jumlah penduduk 43 ribu orang atau 12 ribu kepala keluarga. Tiga danau besar yaitu Siran, Semayang, dan Melintang masuk di dalamnya. Tutupan lahan umumnya adalah ekosistem rawa air tawar dan rawa gambut. Di sini, sudah ada kanal-kanal yang dibuat masyarakat untuk kegiatan transportasi kayu, penangkapan ikan, dan perladangan.
Penta Sumberdaya Nusantara tahun 2012 telah mendata, sedikitnya 75 jenis tumbuhan, 33 jenis burung, 15 jenis ikan, 14 jenis mamalia, 13 jenis reptil, dan 4 jenis amfibi ada di kawasan ini. Beberapa spesies penting dan terancam punah juga ditemukan seperti pesut mahakam, orangutan, bekantan, buaya Siam, dan jenis lutung.
Selain itu, potensi tahunan ikan air tawarnya mencapai 25-50 ribu metrik ton setiap tahun, sejak 1970. Dua daerah konservasi perikanan telah diajukan Dinas Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu dekat Kota Bangun (Danau Loa Kang) seluas 930 hektar dan dekat Muara Muntai (Batu Bumbun) seluas 450 hektar.
Kedua kawasan tersebut masih utuh dan kabarnya telah dibentuk sejak Kesultanan Kutai yang sudah ada sekitar 500 tahun lalu. Kini, pengelolaannya di bawah Kabupaten Kutai sejak 1978 melalui Perda No.18 Tahun 1978.
Beberapa jenis kayu yang penting secara sosial bagi masyarakat banyak ditemui di sini. Contohnya kahoi (Shorea belangeran), jenis dipterocapa yang dapat tumbuh di lahan basah, galam (Melaleuca sp), pulai (Alstonia scholaris), ketiau, gemor dan kedamba (Antocephalus cadamba).
Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai pengelolaan gambut Mahakam Tengah yang berkeadilan. “Diantaranya, penyempurnaan tata kelola dan legalitas dari kabupaten hingga desa, penataan ruang desa, penguatan kelembagaan masyarakat, serta peningkatan kapasitas masyarakat sebagai pengelola utama kawasan tersebut,” ujar Akhmad.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio