Kamis, 05 Februari 2015

Ilmuwan Mengungkap tentang Terumbu Karang yang Dapat Survive terhadap Pemanasan Global

Studi menunjukkan untuk pertama kalinya bagian wilayah Great Barrier Reef dan terumbu lainnya yang dapat diharapkan pulih kembali dari bleaching masal.
Ilmuwan telah mengidentifikasi wilayah yang mampu pulih dari bleaching masal yang mana akan lebih sering terjadi akibat pemanasan global.
Informasi ini dapat membantu para pihak yang terlibat konservasi untuk menargetkan upaya mereka melindungi bagian wilayah yang paling mampusurvive, kata mereka.
Pemutihan karang yang terjadi di utara Pasifik telah memperingatkan peristiwa bersejarah dengan skala yang mirip, catatan mengenai pemutihan pada 1998, kematian masal karang di seluruh dunia.
Nicholas Graham, penulis utama penelitian yang dipublikasaikan di jurnal Nature pada Rabu kemarin, melihat dampak bleaching tahun 1998 pada terumbu karang di Seychelles, dan menemukan 12 dari 21 lokasi telah pulih setelahnya.
Melihat 2 dari 11 faktor – kedalaman perairan dan kompleksitas fisik karang- tim ini dapat memodelkan hingga 98% waktu prediksi dengan tepat, apakah karang akan pulih atau tidak. Perairan yang lebih dalam dan struktur karang yang lebih kompleks membuat pemulihan lebih mungkin terjadi.
Graham mengatakan lebih baik untuk me-manage terumbu karang yang tahan terhadap perubahan iklim daripada hal yang lebih besar seperti memangkas produksi gas rumah kaca.
“Jika emisi gas ini terus berlangsung, maka masa depan tetap akan suram, bahkan bagi karang yang dapat pulih sesaat [dari bleaching], karena perkiraannya bleaching akan sering dan lebih sering terjadi.  Dengan cara itu [temuan ini] memberikan waktu untuk menjaga terumbu dalam kondisi baik sebanyak yang kita mampu, sementara kita juga mengatasi masalah global, isi-isu yang lebih besar”.
Penelitian ini bisa membantu organisasi seperti otoritas Taman Laut untuk menentukan daerah-daerah mana yang herus terhindar dari kerusakan akibat labuh jangkar kapal yang akan mengurangi kopleksitas fisik karang, sehingga akan lebih sulit untuk pulih.
Penelitian ini melihat data selama 17 tahun yang meliputi survey pada 1994, 2005, 2008 dan 2011. Melihat 11 faktor yang memengaruhi pemulihan atau kematian karang. Kompleksitas fisik karang dan kedalaman perairan merupakan dua faktor yang paling penting –lokasi dengan kedalaman lebih dari 6.3 meter sangat mungkin untuk pemulihan- sementara karang pada lokasi yang dilindungi (marine protected area) atau bukan lokasi MPA, hasilnya tidak ada perbedaan.
Dr. Aaaron MacNeil, dari Australian Institute of Marine Science mengatakan, “ini memberikan cara pengelolaan karang, dukungan yang besar dalam menghadapi ancaman akibat perubahan iklim, memberi semangat baru, mengisyaratkan orang-orang dapat mengambil langkah nyata untuk meningkatkan prospek terumbu karang”.
“Dengan pengalolaan yang berhati-hati, dengan kondisi terumbu yang lebih memungkinkan pulih daribleaching, kita memberi mereka kemungkinan terbaik, kesempatan untuk survive. Sementara itu, juga melakukan upaya pengurangan tekanan lokal yang merusak karang dan kualitas air akan membantu meningkatkan proporsi pemulihannya”.
theguardian.com

Presiden Jokowi dan Kedaulatan Energi

Energi bagi suatu negara ibarat darah dalam tubuh manusia. Semua sendi kehidupan dari pertanian, perikanan, industri, transportasi, perkantoran sampai rumah tangga memerlukan energi. Sejarah juga membuktikan bahwa ketersediaan energi sangat menentukan produktivitas, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Oleh sebab itu, sama seperti pangan, negara tanpa ketahanan energi (energy security) tak mungkin bisa menjadi besar, maju, dan makmur. Sebagai negara kepulauan tropis terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya energi melimpah, baik sumber terbarukan (renewable resources) maupun tak terbarukan (non-renewable resources) yang begitu besar dan tersebar di seluruh wilayah nusantara, sesungguhnya Indonesia sangat berpeluang untuk mandiri di bidang energi.
Namun, ironisnya bangsa kita justru tidak memiliki kedaulatan energi. Salah satu indikatornya adalah makin besarnya volume impor bahan bakar minyak (BBM) yang menyedot banyak devisa dan mengakibatkan defisit neraca perdagangan. Pada 2013 kondisi ini diperparah lagi dengan tiga defisit lainnya, yakni defisit Neraca Berjalan, defisit Balance of Payments, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp. 2.100 triliun. Impor premium yang saat ini mencapai 53% diperkirakan akan terus meningkat seiring tingginya konsumsi BBM masyarakat. Bahkan pada 2020 diperkirakan impor premium mencapai 72% dan solar 35%. Celakanya, kondisi kronis tersebut diakibatkan oleh liberalisasi kebijakan energi yang diberlakukan oleh Pemerintah yang justru dipilih langsung oleh rakyat. Bisa dibayangkan, sumber daya energi kita terbesar di dunia yang menjadi hajat hidup seluruh rakyat Indonesia, justru UU yang dibuat oleh penguasa kita mempersilahkan 95% nya dikuasai dan dikelola oleh bangsa asing. Hingga saat ini sudah sekitar 87% sumber energi kita dikuasai dan dikelola oleh asing.
Sejatinya Indonesia sebagai negara agraris-tropis dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia sudah sejak lama dapat memanfaatkan sumber energi terbarukan yang melimpah dan mampu memenuhi kebutuhan energi nasional sepanjang masa sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Salah satunya berupa sumber energi biomassa (tanaman) yang dapat kita olah menjadi Bahan Bakar Nabati (BBN). Berdasarkan rilis International Energy Agency (IEA) bahwa diprediksi pada tahun 2050 BBN dapat menurunkan kebutuhan BBM bumi sebanyak 20-40%. Sementara itu, bangsa Indonesia dikaruniai lebih dari 50 jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan baku BBN. Selain sawit, ada jarak, kelapa, tebu, singkong, jagung, nyamplung, kemiri sunan, dan bunga matahari yang dapat diproses menghasilkan bioenergi (biodiesel dan bioetanol). Bila kita mampu menghijaukan 10 juta ha dari sekitar 25 juta ha lahan kritis dengan berbagai tanaman tersebut, bukan hanya swasembada energi, tapi kita juga bakal menjadi eksportir utama biofuel dan sekaligus semakin asrinya lingkungan hidup kita.
Sebagai ilustrasi, sekitar 250 ribu dari 1,9 juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia (BNP2TKI, 2012) bekerja di perkebunan sawit yang luasnya 5 juta ha dengan perkiraan total produksi 18,42 juta ton CPO (peringkat ke-2 di dunia) pada 2012. Sementara total luas lahan Indonesia yang sesuai untuk perkebunan sawit sekitar 10 juta ha (bahkan versi WWF mencapai 13,5 juta ha), dan sampai tahun 2012 produksi minyak sawit yang diusahakan baru sekitar 9 juta ha dengan total produksi sekitar 25,5 juta ton CPO (peringkat ke-1 dunia). Oleh karena itu, bila kita mampu mengembangkan perkebunan sawit beserta segenap industri hilirnya secara optimal seperti Negara Jiran itu, kita akan menjadi produsen minyak sawit (CPO) dan belasan produk hilirnya terbesar di dunia yang dapat menyerap tenaga kerja lebih dari 6 juta orang pertahun, menghasilkan devisa besar, dan sejumlah multiplier effects ekonomi lainnya. Selain dari daratan, biofuel juga bisa diperoleh dari industri bioteknologi kelautan, baik dari mikroalgae, makroalgae maupun biota perairan lainnya. Sedikitnya terdapat 13 spesies mikroalgae di perairan Indonesia yang mengandung lemak (senyawa hidrokarbon) yang sangat potensial untuk menghasilkan biofuel. Empat spesies utama penghasil senyawa hidokarbon yang sangat potensial untuk dikembangkan yaitu Nannocholoropsis oculata (24%), Scenedesmus (22%), Chlorella (20%), dan Dunaliela salina (15%) (Kawaroe, 2010). Ketahanan energi harus memenuhi paling tidak tiga unsur yakni, ketersediaan (availability), kemampuan untuk membeli (affordability), adanya akses (accessibility), serta ramah lingkungan (environment friendly). Untuk memenuhi keempat unsur tersebut, kelebihan yang ditawarkan oleh BBN sebagai keunggulan kompetitif yakni, tersedianya bahan baku yang cukup, harga yang murah, dan kemampuan teknologi yang relatif telah dikuasai oleh para produsen.
Belajar dari kegagalan kita mempertahankan kedaulatan energi fosil, maka untuk membangun kedaulatan energi nabati, kita harus membangun paradigma energi kita. Paradigma tersebut paling tidak mencakup tiga hal yakni; paradigma finansial, paradigma ekonomi, dan paradigma strategis. Selama ini paradigma yang berkembang adalah paradigma finansial yang hanya memposisikan energi kita sebatas komoditas komersial semata. Dari paradigma ini yang kita dapatkan hanya manfaat finansial semata, sebatas pajak dan royalti, sementara sumber energi kita dapat dibawa, dikelola, dan dimanfaatkan oleh siapa saja selama itu menguntungkan. Paradigma ini pula yang kiranya menjadi dasar adanya UU yang tidak berpihak kepada kedaulatan bangsa. Paradigma bangsa yang telah sukses terbelokkan ke arah paradigma yang terkesan murahan. Paradigma yang kedua yang harus kita bangun adalah paradigma ekonomis. Dari paradigma ekonomis ini bukan hanya manfaat finansial semata yang akan kita dapatkan lebih dari itu akan memunculkan industri-industri berbasis energi yang akan semakin memperkuat ketahanan energi kita. Dan paradigma yang ketiga adalah paradigma strategis, jika negara lain saja tidak mau sumber energinya dikelola oleh asing, maka dalam mengelola sumber energi nabati kita harus memegang erat prinsip amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945, bahwa tidak sembarang pihak dapat mengelola sumber energi nabati kita dari hulu hingga hilir. Hal ini demi kedaulatan dan hak dasar rakyat banyak agar dapat merasakan energi dalam negerinya sendiri dengan murah, bersih, dan ramah lingkungan dan tidak pusing-pusing lagi menghadapi kenaikan harga BBM. Semoga presiden Jokowi dan jajarannya mampu menerapkan dan mengembangkan energi nabati dengan optimal, baik dari daratan maupun lautan, sehingga konsumsi energi nasional dapat terpenuhi dan rakyat Indonesia akan semakin sejahtera.
Penulis: Rahmad S.Ik
Peneliti di Rokhmin Dahuri Institute